Cerpen
tentang pengorbanan tak jarang membuat orang tersadar bahwa, dirinya terlalu
sering berkorban untuk orang lain.
Mereka
cenderung melupakan diri sendiri demi impian orang lain. Alur semacam ini pun sering
kita jumpai dalam beberapa cerpen tentang pengorbanan.
Berikut
adalah cerpen tentang pengorbanan yang memiliki banyak amanat yang bisa
dipetik.
Sore ini
hujan turun begitu derasnya. Sudah hampir seminggu ini hujan turun di sore hari.
Jelas hal ini sangat menyulitkanku dalam mencari uang.
Sejak tiga
bulan yang lalu setiap sore aku selalu berjualan sate ayam. Aku biasa menjual
sate di alun-alun yang tak jauh dari rumahku.
Jika
hingga jam sembilan malam sate ayamku masih banyak, aku menjualnya dengan cara
berkeliling di beberapa komplek perumahan.
Penghasilan
dari jualan sate ayam ini cukup untuk menyekolahkan adikku yang masih duduk di
sekolah dasar.
Semenjak
ayah dan ibuku bercerai. Aku dan adikku tidak memiliki tempat untuk tinggal.
Berkali-kali aku dan adikku mencari bantuan ke saudara, namun tidak ada
hasilnya.
Kami
justru dianggap sebagai pembawa masalah bila ikut menumpang dengan mereka.
Karena inilah aku memutuskan untuk putus sekolah dan bekerja mencari uang untuk
adikku.
Orang tua
ku pun tidak pernah mengirimkan uang untuk sekedar kami makan. Untunglah aku
memiliki sedikit tabungan yang bisa digunakan untuk berjualan.
Selain
berjualan sate ayam, aku juga bekerja di tempat pencucian pakaian. Dari situlah
aku bisa mendapatkan uang cukup untuk mencari kontrakkan.
Dalam
menjalani hidup, seringkali aku menangis. Berkali-kali juga aku mengatakan
bahwa dunia ini tidak adil. Setidaknya tidak adil untuk adikku.
Adikku
yang tidak tahu apa-apa harus merasakan hidup tanpa adanya orang tua. Bahkan
aku sendiri masih membutuhkan peran orang tua.
Tetapi,
berkali-kali juga aku mengatakan bahwa segala hal yang terjadi pada diriku
sangatlah sesuai dengan kemampuanku.
Buktinya,
sudah dua tahun ini aku dan adikku mampu bertahan hidup. Bahkan hebatnya aku
mampu menyekolahkan adikku.
Semenjak
ayah dan ibuku berpisah, Nesa, adikku tidak pernah sekalipun bertanya dimana
keberadaan orang tuanya. Dia selalu ikut kemana pun aku pergi.
Ya, aku
mengetahui penyebabnya. Terakhir kali sebelum ayah dan ibuku berpisah, Nesa
menjadi sasaran mereka untuk meluapkan segala emosi.
Untunglah
saat itu aku datang tepat waktu. Aku yang saat itu masih duduk di bangku
sekolah menengah pertama harus menerima kenyataan, bahwa hidup kami pahit.
Tetapi aku
bersyukur, paling tidak aku bisa bertahan hidup sampai saat ini. Menghabiskan
waktu bersama dengan adikku dan sesaat melupakan segala kesedihan.
Meskipun
terkadang aku kerapkali merindukan ibu ataupun ayah yang entah saat ini berada
dimana.
Nesa pasti
juga begitu. Ia pasti merindukan ayah dan ibu yang menyayanginya. Atau mungkin
justru Nesa dendam kepada orang tuanya.
Apapun itu
yang terpenting saat ini adalah bagaimana cara agar aku bisa terus bertahan
hidup dengan adikku. Dan adikku terus bisa melanjutkan sekolahnya.
Tak apa
meski aku harus putus sekolah. Ku harap Nesa tidak merasakan seperti aku yang
ingin sekali duduk di bangku sekolah dan menerima banyak ilmu.
Walaupun
pada akhirnya ilmu tidak hanya didapat dari duduk dan mendengar penjelasan
guru.
Tetapi,
aku percaya suatu saat nanti, aku dan adikku akan menjadi orang yang sukses dan
dapat menjalani hidup yang Bahagia.