Selain
cerpen tentang cinta, cerpen tentang persahabatan menjadi tema yang sering
ditemukan dalam sebuah cerita pendek.
Cerpen
tentang persahabatan biasanya menggambarkan tentang hubungan yang tak lekang
oleh waktu.
Hubungan
yang terkadang rumit ini kerap kali dialami oleh beberapa orang. Dan tak jarang
mereka menuangkannya dalam bentuk cerpen tentang persahabatan.
Berikut
adalah cerpen tentang persahabatan yang diambil dari kisah nyata.
Namaku
Putri Ratna Sari. Orang-orang mengenalku dengan nama Ratna. Aku merupakan salah
satu siswa di sekolah menengah atas yang terkenal cukup nakal.
Sejak
kecil aku tidak tinggal bersama kedua orang tuaku. Mereka bercerai saat aku
berusia 5 tahun. Setelah mereka resmi berpisah, aku dirawat oleh nenek dari
ibuku.
Nenek
yang sering kupanggil amak ini sering bercerita kalau dulu, ibu dan ayahku
sangat tidak mengharapkan aku. Itu sebabnya mereka tidak mau mengurusku.
Tapi
apapun itu, aku tidak peduli asal amak masih ada disampingku. Meskipun aku
sayang dengan amak, tapi bukan berarti aku tumbuh menjadi anak yang baik.
Retno
menjadi saksi bagaimana aku tumbuh menjadi orang yang nakal. Sebenarnya nakalku
hanya sebatas membolos, tidur saat jam pelajaran dan masih banyak lagi.
Bukan
nakal yang mengarah ke pergaulan bebas. Ingat, aku sayang dengan amakku. Aku
tidak mau membuat amak kecewa.
Meskipun
aku nakal, tapi aku penyumbang piala terbanyak di sekolahku. Tanyakan saja
semua pada Retno. Dia tahu aku sangat bisa diandalkan.
“Retno!
Mau ikut bolos tidak? Hari ini aku mau makan ayam di samping kecamatan!” ucapku
saat menjemput Retno sekolah.
Tiap
hari aku selalu mengantar jemput Retno. Selain karena rumahnya dekat denganku.
Retno juga sangat baik kepadaku dan juga amak.
“Bolos
lagi, bolos lagi. Gak bosen kamu Na? Gak takut nilaimu tiba-tiba turun terus
aku yang jadi menjadi juara kelas?”
Aku
pun hanya tertawa mendengar omongan Retno. Kami pun berangkat menuju sekolah
seperti biasanya.
Sepanjang
jalan kami terus membahas berbagai hal yang menurut kami menarik. Seperti
kenapa pak kepala lurah kepalanya botak dan hal seru lainnya.
Setibanya
di sekolah, Retno yang sedang sibuk mempersiapkan lomba pun langsung menuju ke
kantor untuk menemui guru pembinanya.
Aku
cukup bangga memiliki teman seperti Retno yang rajin mengikuti berbagai jenis
perlombaan. Meskipun sebenarnya aku jauh lebih pintar dibanding Retno, tapi aku
tidak rajin.
Singkat
cerita bel tanda jam pertama dimulai pun berbunyi. Aku dan Retno duduk di kelas
dan memperhatikan penjelasan dari guru.
Meskipun
aku kerap kali membolos dan tidur di kelas, tapi aku selalu memperhatikan
penjelasan guru. Ya walau kadang-kadang berujung tidur. Tapi aku tetap juara
kelas.
Bell
tanda istirahat pun berbunyi. Perutku pun sudah berisik karena lapar, akhirnya
pun aku mengajak Retno untuk membolos demi makan mie ayam kesukaanku.
Tapi
Retno menolaknya dengan alasan sibuk. Sebagai teman baik, tentu aku maklum akan
hal itu. Dan seperti biasa aku meminta Retno untuk beralasan ketika ada yang
mencariku.
Retno
pun hanya mengangguk santai dan meninggalkan ku begitu saja. Aku pun berjalan
menuju kecamatan yang kurang lebih berjarak 3 km dari sekolahku.
Saat
sedang berjalan menuju ke tempat mie ayam kesukaanku. Tiba-tiba saja ada motor
yang menabrakku dan membuat kepala, kaki dan tanganku luka-luka.
Untungnya
orang yang menabrakku bertanggung jawab. Setelah mengantarku ke puskesmas
terdekat, ia langsung mengantarku pulang.
Setibanya
di rumah, amakku sudah menangis. Aku hanya terdiam melihat amakku yang
menangis. Sesaat setelah penabrak itu pergi dari rumahku, aku bertanya kepada
amak.
“Amak,
apa Retno tahu kalau aku…”
Belum
sempat aku menyelesaikan pertanyaanku, tiba-tiba Retno masuk ke kamarku dengan
penuh amarah.
Ia
pun mulai menceramahiku tanpa bertanya bagaimana kondisiku saat itu. Amak yang
tahu Retno sedang marah-marah pun memilih keluar dari kamar.
Aku
hanya terdiam sambil menahan rasa sakit. Mau tidak mau, aku harus mendengarkan
semua omelan Retno.
Dari
sekian banyaknya omelan, hanya omelan Retno yang paling aku takuti. Bagaimana
tidak, Retno lah orang luar yang peduli terhadapku dan amak di saat kami susah.
Ia
selalu berhasil membujuk rayu ibu dan bapaknya agar mau menolong aku dan amak.
Bahkan Retno yang mengajari ku belajar supaya mendapat peringkat di kelas.
Meskipun
terkadang menyebalkan, tapi aku sangat menyayangi Retno, seperti aku menyayangi
amak.